Menguji iman di jalanan kota Makassar

Akhir Juni 2010, saya meninggalkan kota Jogja, kota kelahiran dan kampung halaman saya, dan pindah ke Makassar, kampung suami saya. Berarti sudah 2,5 tahun lebih saya tinggal di sini. Selama 2,5 tahun ini saya terus berusaha beradaptasi. Bukan hal yang mudah bagi saya, meninggalkan kota yang sudah saya tinggali sejak lahir, untuk menetap di tempat yang baru, tanpa keluarga dan teman.

Sampai sekarang, saya belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diri. Masih banyak hal yang belum saya pahami dan belum bisa terbiasa. Lidah saya belum terbiasa makan ikan. Di Jogja, saya jarang sekali makan ikan, dan itu membuat saya tidak terlalu suka makan ikan. Menurut saya, semua ikan rasanya sama. Saya tidak bisa membedakan mana ikan yang enak dan mana yang kurang enak. Saya juga belum bisa menikmati sokko (ketan) yang dimakan bersama lauk pauk. Karena di Jogja, ketan biasa dimakan sebagai cemilan, bersama kelapa parut dan gula merah cair. Soal bahasa, saya masih sangat terbata-bata. Bahasa Indonesia dengan logat Makassar saja masih sering membuat saya bingung. Saya belum bisa paham betul penempatan partikel mi, ki, ji, pi yang selalu digunakan di akhir kata. Apalagi jika bahasanya dicampur dengan istilah-istilah lokal, saya sering hanya bisa mengernyitkan dahi. Tidak mengerti. Kalau bahasa Indonesia dengan logat lokal saja membuat saya bingung, bisa dibayangkan bagaimana pusingnya saya saat mendengar orang berbicara menggunakan bahasa daerah. Di Sulawesi Selatan ini, bahasa daerah bukan cuma satu, tapi banyak. Tiap suku punya bahasa sendiri. Saya sama sekali tidak bisa membedakan mana yang bahasa Bugis, Makassar, Duri, Toraja, atau bahasa daerah lainnya. Bagi saya, semua terdengar sama, asing. Dan karena jumlahnya yang banyak itu saya jadi kesulitan untuk mempelajarinya. Tidak seperti di Jawa, 3 provinsi menggunakan bahasa yang notabene sama, bahasa Jawa. Paling hanya satu atau dua kata saja yang berbeda.

Hal lain yang saya belum bisa terbiasa adalah jalanannya. Kebiasaan orang berlalulintas di sini sungguh membuat saya syok. Bagaimana tidak? Saya yang terbiasa berjalan di jalanan Jogja yang orang-orangnya berpedoman alon-alon waton kelakon (biar pelan asalkan sampai), ketika sampai di Makassar, pengguna jalan seperti tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Di Jogja, saya jarang sekali merasakan ngebut di jalan raya. Apalagi jika membonceng adik atau orangtua saya. Kecepatan maksimal hanya 40 km/jam. Kami benar-benar menikmati perjalanan. Saya jarang mendengar klakson dibunyikan di lampu merah. Kami selalu menunggu dengan sabar kendaraan di depan kami berjalan. Lampu pengatur lalu lintas berfungsi dengan baik. Ketika lampu merah menyala, jarang sekali ada yang melanggar, kecuali jika malam hari dan jalanan sudah sepi. Di saat macetpun kami tetap menunggu dengan sabar, jarang terdengar bunyi klakson, apalagi sumpah serapah. Yang suka kebut-kebutan mungkin hanya bis kota. Apalagi jika hampir disusul oleh bis dengan jalur yang sama dari belakang.

Di Makassar, kendaraan yang berjalan dengan kecepatan yang sama dengan kendaraan di Jogja mungkin akan ditertawai, kalau bukan diklakson atau dimaki-maki. Lampu pengatur lalulintas sering hanya berfungsi sebagai pajangan. Lampu merah tidak ada artinya, Kendaraan dari berbagai arah tidak mau mengalah, yang ujung-ujungnya membuat macet. Yang lebih lucu menurut saya, polisi yang bertugas di jalan seperti tidak berdaya. Bahkan beberapa kali saya dapati, justru polisi menyuruh kendaraan dari arah yang lampu merahnya sudah menyala beberapa saat untuk tetap jalan. Sementara dari arah lainnya yang lampu hijaunya sudah menyala disuruh berhenti. Di saat macet pun tetap tidak ada yang mau mengalah. Pengendara sepeda motor akan berusaha mencari celah sekecil apapun untuk bisa maju (biasanya suami saya juga begini soalnya, hehehe). Belum lagi kalau harus menyeberang. Saya paling benci menyeberang jalan di Makassar, baik ketika naik motor, terlebih ketika jalan kaki. Kalau sedang jalan kaki dan harus menyeberang sendirian, biasanya butuh waktu agak lama bagi saya untuk bisa menyeberang. Cara saya menyeberang jalan, selalu dikritik oleh suami saya. Saya biasa menunggu kendaraan memperlambat lajunya baru menyeberang. Karena di Jogja, saat melihat ada orang yang mau menyeberang, kendaraan langsung memperlambat lajunya. Ternyata, hal itu tidak berlaku disini. Kalau kita tidak jalan duluan, orang melaju kendaraannya dengan cepat. "Ini di Makassar, lain dengan Jogja," kata suami saya.

Alhasil, sejauh ini saya tidak pernah bisa menikmati perjalanan. Sepanjang jalan saya lebih banyak berdoa, agar selamat. Eh, mungkin ada bagusnya juga jalanan Makassar begitu ya? Iman saya jadi lebih kuat, karena lebih banyak berdoa dan berdzikir. Hahaha.


**Tulisan ini juga dipublikasikan di buku "Makassar Nol Kilometer", penerbit : Ininnawa-Tanahindie.

Komentar

Postingan Populer