Merayakan Idul Adha



Beberapa hari yang lalu seluruh umat muslim merayakan Hari Raya Idul Adha. Suasananya pun masih terasa sampai hari ini. Di hari Idul Adha, seperti yang kita semua tahu, umat muslim berkurban hewan ternak besar, seperti kambing, sapi, atau kerbau.

Seperti halnya bagi umat muslim yang lain, Idul Adha juga merupakan hari istimewa untuk saya. Di hari itu kita diingatkan kembali akan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS, dan putranya, Ismail. Kisah itu mengajarkan kita untuk ikhlas menjalankan perintah Allah, semata-mata demi mengharap ridha-Nya.

Ada beberapa momen favorit saya saat Idul Adha. Di antaranya adalah waktu saya masih kecil. Dulu saya tinggal di sebuah kampung di tengah-tengah kota Jogja. Biasanya di malam takbiran, diadakan lomba takbir keliling. Pesertanya anak-anak, berjalan keliling kampung membawa obor. Lumayan pegel loh, apalagi harus tetap konsentrasi memegang obor supaya nda miring dan membakar kerudung teman di depannya. Tapi meskipun capek, tetap terasa seru.

Paginya, kami shalat Ied di lapangan. Yang paling saya suka adalah melihat penjaja makanan di sekitar lapangan. Favorit saya adalah endhog abang (telur merah), yaitu telur rebus yang diberi warna merah, kemudian ditusuk dan diberi hiasan. Setelah selesai shalat, kami pulang ke rumah masing-masing dulu, baru kemudian ke masjid untuk melihat proses penyembelihan kurban. Setelah hewan kurban disembelih dan dipotong-potong, petugas dari masjid pun akan membagikan daging kurban ini ke semua warga di kampung.

Endhog abang (foto : Google)

Momen favorit saya yang lain adalah Idul Adha empat tahun lalu. Waktu itu kami sekeluarga merayakan Idul Adha di kampung halaman pak suami, di Enrekang. Kampungnya ini berada di dataran tinggi, di kaki gunung Latimojong. Setelah shalat dan sarapan, penyembelihan kurban pun dimulai. Di sini, penyembelihan kurban dilakukan oleh masing-masing kelompok yang berkurban, tidak dikoordinir oleh masjid. Dan hewan yang dikurbankan adalah kerbau.

Selesai disembelih, daging dibawa ke salah satu rumah, dan di sana baru dipotong-potong. Sebagian untuk dibagi-bagi, sebagian lagi langsung dimasak untuk disantap bersama. Berbagai masakan khas Sulawesi Selatan disiapkan, seperti Coto, Konro, dan Nasu Cemba. Masakan yang terakhir ini adalah masakan khas dari Enrekang. Jarang sekali didapat di tempat lain, termasuk di Makassar. Semacam sup daging, yang diberi tambahan daun Cemba (daun asam) yang membuat rasanya makin enak. Selepas Dhuhur, saya mendengar pengumuman di masjid, yang mengundang warga untuk makan siang di rumah salah seorang warga. Semacam open house begitu. Dan warga yang datang diminta membawa peralatan makan sendiri, yang digunakan untuk membawa makanan pulang. Buat saya ini menarik, karena belum pernah saya dapati di tempat lain.

Beberapa tahun belakangan ini, kami merayakan Idul Adha di Makassar. Suasananya jadi kurang terasa greget sih menurut saya, karena nda kumpul-kumpul sama keluarga besar. Ditambah lagi, saya nda terlalu bisa masak daging (dan kurang suka makannya juga sebetulnya), sehingga lebih banyak bergantung pada bumbu instan, yang tentu rasanya nda semantap bumbu segar. Biasanya daging kurban yang kami dapat hanya sedikit yang kami ambil, selebihnya dibagikan ke orang lain. Itu saja biasa bertahan lama berminggu-minggu di kulkas, karena sudah eneg duluan di hari kedua lebaran. Hahaha. Nah, kalau Idul Adha di tempatmu, seperti apa ceritanya?


** Tulisan ini merupakan bagian dari Collaborative Blogging Kumpulan Emak-emak Blogger. Baca juga tulisan teman saya Zilqiah Anggraini : Serunya Arisan Qurban.

Komentar

  1. Emang enakan bareng keluarga besar ya Mak, aku jg kangen idul adha bareng kluarga. Karna jatah mudik cuma idul fitri jd idul adha diperantauan deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa, paling nggak kalo rame-rame itu daging jadi nggak keliatan banyak banget, jadi nggak eneg duluan liatnya, hehehe.

      Hapus
  2. wah kak ayii penasaranku sama endhog abang kayaknya enak dan selalu bikin nagih yaaa... kita samaan gak terlalu tau ngolah2 daging kak hihihii .

    btw makasih post nya kak ayi, semoga tema berikutnya bisa ttp ikut nulis2 :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Telur rebus biasa ji itu endhog abang hehe. Cuma dikasih warna merah dan dihias jadi keliatan lucu. Tapi memang ada makna filosofisnya. Nda tiap hari dijual.

      Siaap..! Semoga bisa terus konsisten nulis.. 😊

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer